Tag Archives: Adventure

Pura Puncak Mangu – Pura di puncak bukit

Pura Puncak Mangu terletak di desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung dengan ketinggian sekitar 2000m diatas permukaan laut dapat ditempuh lewat 2 jalur yaitu jalur Petang dan jalur Bedugul.

IMG_1193Kami menempuhnya lewat jalur Bedugul sekitar 1.5 jam dari kota Denpasar, sebelum areal perkebunan strawbery. Di pertigaan jalan dimana ada patung pak polisi, kami mengarah ke kanan dan kendaraan kami parkir persis di ujung jalan mendekati jalan setapak.

IMG_1203IMG_1229Vegetasi alam jalur Bedugul ini masih tergolong padat sehingga kami tidak dapat mengenali entry pointnya. Kami hampir masuk ke ladang petani dengan menyususuri jalan setapak dimana jalan itu dapat dilalui oleh sepeda motor. Untungnya kami bertemu salah satu petani yang sedang menuju ke kebun dan mereka memberitau arah menuju gunung mangu sebelum kami berjalan terlalu jauh. Kami nyaris tidak mengenali titik tersebut. Dengan langkah ragu-ragu akhirnya kami yakin setelah menemukan 1 pos yang terbuat dari tiang besi dan atap seng.

IMG_1216Ada lima pos kami temui disepanjang jalur sejauh 2 jam perjalanan sebelum akhirnya jalan yang berat dan menantang benar-benar menanti.

IMG_1367IMG_1360Di pos ke lima, kami menjumpai beberapa anak muda yang sedang berburu. Sayangnya anak muda ini hanya menyasar burung-burung yang kecil karena hewan liar sejenis kijang di hutan ini sudah banyak berkurang karena perburuan. Mereka mungkin tidak sadar bahwa burung-burung kecil itu mungkin di lindungi dan bahkan hewan kecil itu juga berperan dalam penyebaran biji dan benih pohon baru..

IMG_1260IMG_1317IMG_1319IMG_1318IMG_1316IMG_1323IMG_1339Kami juga menemukan banyak jenis jamur disepanjang perjalanan.

IMG_1489

Jpeg

Jpeg
Jpeg

Jpeg

Menemukan bunga dan biji-bijian juga (biji-bijian berwarna biru diatas aku belum pernah temukan digunung manapun sebelumnya) .

IMG_1495 IMG_1500Beberapa menit setelah akhirnya tiba di puncak gunung kami menemukan pura yang dibangun pada abad ke 16 itu dengan decak kagum. Kagum atas uapaya manusia jaman dulu untuk membawa semua material untuk mendirikan pura mengingat sulitnya medan menuju puncak. Tidak lama kemudian kami juga berjumpa beberapa orang yang hendak bersembayang di pura di puncak gunung ini. Saya pribadi sangat salut dan kagum atas spirit yang dimiliki oleh orang-orang yang bersembayang, menaklukkan rasa lelah untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan Yang maha Esa.

Butuh waktu 3.5 jam menuju puncak dan 2.5 jam menuruninya..

Pantai-pantai pasir putih Selatan Lombok

Pantai pantai pasir putih di Lombok bagian Selatan memang tidak dan belum seterkenal di Bali atau saudara kandungnya seperti 3 gili yaitu Gili Trawangan, Gili Meno dan Gili Air yang terletak di Utara atau bahkan Senggigi di bagian Barat. Padahal pantai di Lombok Selatan ini tidak kalah putih dan bagus dari saudaranya 3 Gili tersebut yang sudah berkembang lebih dulu bahkan kalah sama saudaranya Senggigi. Ini mungkin disebabkan karena belum tersedianya fasilitas yang memadai seperti penginapan atau hotel dikawasan pantai Selatan tersbut. Dulu sekitar 6 tahun yang lalu (pertama sekali menginjakkan kaki ke Pulau Lombok ini di akhir April 2009) hanya ada satu hotel bernama Novotel yang sekarang berganti nama menjadi hotel Mandalika dan beberapa guest house. Tentu saja hal ini sangat jauh dari kata cukup. Juga diiringi dengan penerbangan yang hanya dilayani oleh Merpati yang beroperasi 3x seminggu dan hanya mengangkut belasan orang.

Sejak dibukanya Bandara Internasional Lombok (BIL) sekitar 3 tahun lalu memang memudahkan jalur transportasi namun belum mampu membawa banyak perubahan siginifikan di bagian pantai Selatan. Hanya ada beberapa guest house (rumah penginapan) yang bertambah disekitar pantai Kuta dalam kurun waktu 3 tahun belakangan ini. Tetapi bagaimanapun dengan adanya penerbangan langsung menuju Lombok dirasakan sangat memudahkan untuk menjangkau daerah ini. Mudah-mudahan tahun mendatang dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang ke Lombok dapat membantu mempercepat pembangunan di Lombok Selatan ini.

Adapun akses jalan menuju pantai-pantai tersebut sebenarnya sudah cukup bagus. Pantai-pantai di bagian selatan ini dapat dijangkau 1.5 jam dari Senggigi, atau 1 jam dari Mataram. Daerah terdekat untuk bermalam agar dapat menikmati pantai-pantai indah ini adalah daerah Kuta Lombok. Waktu yang diperlukan berkisar 10 hingga 30 menit ke masing masing pantai yang tertera di bawah. Biaya parkir tiap pantai ini Rp. 10.000 untuk roda empat dan Rp. 5.000 untuk roda dua.

Pantai tersebut adalah:

1. Pantai Mawun

DSC_4655
Pantai Mawun dengan pasir putihnya juga spot yang bagus untuk berselancar

2. Pantai selong Belanak

Selong blanakSelong blanak2selong

3. Pantai Kuta

DSC_4644
Pantai Kuta yang indah

4. Pantai seger (spot untuk berselancar / surfing)

seger1seger2seger3

5. Pantai Semeti

DSC_1324
Pantai Semeti yang pasirnya tak kalah putih dari pantai lainnya di Selatan
DSC_1355
Anak-anak dengan canda tawa bermain di Pantai semeti
DSC_1334
Terlihat jelas pantai pantai lain yang berpasir putih dari pantai Semeti

6. Pantai Tanjung Aan

DSC_4605
View pantai Tanjung Aan dari atas bukit Batu Payung
DSCF2649
Pantai Tanjung Aan

1

7. Pantai Batu Payung.

DSC_4590DSC_4592DSC_4625DSC_4592batu undak

8. Tanjung Bloam.

Pantai Tanjung Bloam dapat ditempuh sekitar 45 menit dari Pantai Kuta Lombok. Pantai ini tidak memiliki pasir putih namun hanya berlandaskan batu karang yang agak panjang dengan tonjolan bukit diujungnya dengan sisi tebing yang indah.

t.bloamt.bloam1t.bloam2t.bloam3

Pulau Weh – Kilometer NOL Indonesia

Pulau Weh terletak berdekatan dengan laut Andaman India, Thailand maupun Malasya ini dulunya terhubung dengan pulau Sumatera tetapi karena erupsi yang terjadi pada jaman Pleistocene pulau ini menjadi terpisah. Dengan luas 156.3 KM2 yang mana hampir setengahnya atau 60KM2 menjadi daerah kawasan lindung meliputi darat dan laut, bagian dari provinsi Aceh yang dipisah oleh selat Benggala. Zaman dulu pulau ini adalah tempat buangan bagi para terhukum oleh kerajaan Aceh yang biasa disebut geupeuweh. Lama kelamaan namanya menyingkat dan berubah menjadi Weh yang artinya pulau terpisah. Pulau ini sangat kaya dengan wisata baharinya.

pulauweh_map1Beberapa lokasi yang wajib di intip di Pulau ini antara lain:

  1. Kota Sabang

Sabang menjadi ‘ibu kota’ Pulau Weh. Jalanan mulus dan bagus dan mulus di kota ini memang sudah terkenal. Tahun 1895 oleh pemerintah Hindia Belanda menjadikan Sabang menjadi daerah pelabuhan bebas. Sabang pun menjadi pelabuhan perdagangan internasional. Tetapi perang dunia kedua membuat Sabang menjadi lahan rebutan antara Belanda dan Jepang. Tahun 1942 pulau ini diduduki Jepang menjadikannya basis maritime. Lalu sekutu memborbardir Sabang lalu kota ini ditutup sebagai daerah pelabuhan bebas perdagangan Internasional. Setelah Indonesia merdeka, Sabang dibuka lagi menjadi pelabuhan bebas. 2004 sempat ditutup karena situasi Aceh saat itu. Namun 2005 segera dibuka lagi. Saat aku berkunjung ke pulau ini di awal 2008 mata seperti disilaukan oleh mobil-mobil mewah yang melintas di jalanan kota. Waktu itu bapak supir yang mengantar aku dari Sabang menuju Gapang menyatakan kalau mobil-mobil mewah itu sudah jauh berkurang karena sempat terjadi penutupan kota Sabang menjadi pelabuhan bebas.

the island 091
Banda Aceh dilihat dari jalanan mulus kota Sabang
IMG_0496
Bungker peninggalan jaman Jepang di lihat dari pantai Sumur Tiga

2. Sumur Tiga.

Sumur Tiga ditempuh sekitar 15 menit dari Pelabuhan Balohan. Disini laut luas menghadap langsung ke samudra Hindia dan pantai pasir putih sepanjang kurang lebih 3KM. Bagus juga buat tempat snorkeling tetapi kadang tidak aman jika ombang sedang besar.

IMG_0491
Pasir Putih di pantai Sumur Tiga
IMG_0492
Salah satu ujung pantai Sumur Tiga persis tidak jauh dari bungker Jepang. Pantai pasir putih ini mencapai panjang sekitar 2KM.

3. Air Terjun Pria Laot.

Air terjun satu-satunya di Pulau ini dan mensuply air tawar untuk desa sekitarnya. (Tidak punya foto pendukung karena dirusak oleh virus).

4. Gapang

Tempat pavoriteku jika sedang ingin berlibur ke Pulau Weh. Selama tahun 2008 sebanyak 3 kali menjejakkan kaki ke Pulau Weh, dan saya selalu memilih menghabiskan malam disini. Tempat yang sangat asik buat snokling dan diving tentu juga dengan pasir putihnya.

IMG_0481
View kota Sabang dari pantai Gapang.
IMG_0463
Pantai Gapang
Octavia 172
Pantai Gapang dan kapal-kapal untuk para diver dilihat dari ujung batu karang

5. Iboih

Di Iboih sebenarnya lebih mudah menjumpai guest house dan makanan yang bervariasi mulai dari Asian hingga Western food. Tempat favorit buat snorkeling dan diving disini.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Kapal-kapal pengangkut para diver yang berlabuh di pantai Iboih diintip dari balik pohon beringin.
OLYMPUS DIGITAL CAMERA
Pemandangan dari Iboih diintip dari atas atap salah satu guest house.
  1. Pulau Rubiah.

Tempat ini menjadi lebih ekslusif karena harus menyeberang lagi dengan kapal dari Iboih.. Pasir putih dan tempat yang sangat bagus buat snorkeling dan diving.

  1. Sumber air panas Jaboi.

Berada di kawasan hutan lindung, sumber air panas ini juga dimanfaatkan oleh warga desa Keunekai sebagai tempat pemandian air panas.

jaboi
Ada puluhan mata sumber air panas Jaboi ini, hingga sumber ini dapat dimanfaatkan masyarakat Desa Keunekai sebagai pemandian air hangat.
  1. Kilometer NOL

Kilometer NOL sebagai Icon pulau Weh. Titik NOL Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sebenarnya Pulau Weh bukanlah awal titik NOL Indonesia. Masih ada Pulau Rondo yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Pulau Weh, tetapi karena pulau ini tidak berpenduduk maka titik NOL dihitung dari Pulau Weh (sekarang karena banyak pulau-pulau terluar Indonesia di klaim oleh Negara tetangga maka pulau Rondo telah dijaga oleh militer). Pulau Rondo sendiri masuk wilayah administrasi Pulau Weh.

Pulau Rondo
Pulau Weh bird view. Pulau Rondo kecil terlihat di kejauhan.
IMG_0531
Sunset dari Kilometer NOL
IMG_0530
Tugu Kilometer NOL diantara lebatnya pepohonan sebelum di renovasi.
  1. Pasir Putih Paya Keunekai.

Pulau Weh ini memang luar biasa dengan pantai pasir putihnya. Hampir seluruh pulau ini dikitari oleh pasir putih. Paya Keunekai yang juga menjadi kampong nelayan di pulau ini berhadapan langsung dengan daratan Pulau Sumatera dengan Banda Aceh di ujungnya tentu dengan pasir putihnya yang indah.

IMG_0506
Bale untuk para nelayan dengan pasir putihnya yang indah..

Menuju ke Pulau Weh.

Ada 2 jenis kapal menuju Pulau Weh dari Banda Aceh atau sebaliknya.

1. Kapal Ferry biasa disebut kapal lambat berangkat sekali sehari dari Ule-Lhee ke Pelabuhan  Balohan Sabang jam 11.00 WIB.

Dari Pelabuhan Balohan Sabang menuju Ule-Lhee Banda Aceh berangkat jam 14.00 WIB.

Harga tiket Rp.23.500/orang

2. Kapal Cepat / Fast Ferry berangkat 2 kali sehari tidak jauh dari tempat kapal lambat pelabuhan Ule-Lhee menuju Pelabuhan Balohan Sabang yaitu jam 09.00 dan jam 15.00.

Dari Pelabuhan Balohan Sabang menuju Ule-Lhee berangkat jam 10.00 dan jam 16.00

Harga tiket bervariasi tergantung kelas. Kelas Ekonomi Rp.75.000, Bisnis 85.000 dan VIP 110.000.

Tempat Menginap.

Ada 3 lokasi tempat menginap paling popular di Pulau Weh yaitu Sumur Tiga, Gapang dan Iboih. Di Sumur Tiga tidak terlalu banyak pilihan guest house karena hanya ada satu atau dua pemilik guest house disana Harga kamar disini bervariasi dari harga Rp. 150.000 hingga Rp.500.000 per malam.

Di Gapang beberapa pilihan guest house. Dari yang sangat biasa dengan harga Rp.100.000 hingga Rp.250.000 hingga guest house yang dilengkapi dengan AC dengan 1 juta Rupiah per malam tergantung kemampuan kantong anda.

Di Iboih lebah banyak pilihan guest house dan harga lebih ramah dengan isi kantung.

Gunung Sebayak – Cinta Pertamaku

Sebenarnya Sebayak adalah gunung pertama yang pernah aku kunjungi di tahun 2011 lalu. Gunung dengan ketinggian 2094 m diatas permukaan laut menjadi salah satu gunung yang sangat banyak di kunjungi oleh touris lokal maupun mancanegara. Bagaimana tidak, jalan beraspal menuju gunung ini memungkinkan kendaraan roda dua maupun empat dapat parkir di punggung gunung dekat kawahnya. Hanya butuh 20 menit berjalan di jalan setapak agak dapat melihat kawahnya secara jelas. Dulu, di tahun 2000 an saat jalan masih belum diaspal dan merupakan jalan setapak menuju gunung Sebayak, beberapa teman sering mengajakku naik gunung Sebayak, tetapi aku selalu menolak. Bangun jam dua atau tiga dini hari adalah hal yang sangat menyiksa. Tentu saja aku tidak mau melepas selimut hangat saat dingin dan melek mata saat tidur sangat lelap. Aku menyukai aktivitas alam, atau jalan-jalan tapi tidak naik gunung. Naik gunung itu melelahkan dan tak ada manfaatnya selain membuat sakit saja, pikirku dulu.

Tetapi di April tahun 2011 itu, aku merubah cara berpikirku. Saat itu aku sedang menjauhkan diri dari penatnya kota Medan lalu berangkat ke Berastagi lantas menginap disana di Sebayak Cottage sekaligus bertemu teman lama yang juga bekerja di Cottage tersebut. Lalu seorang turis asal Inggris berusia sekitar 60 tahunan – yang menurut temanku sudah menginap disana selama 2 minggu – mengibas-ngibas kan secarik kertas. “Aku baru saja dari sini” katanya seraya menunjukkan kertas itu. Temanku yang bernama Tiar itu pun meraih kertas itu lantas bergumam “ Oh.. Sebayak”. Katanya. “ Jam berapa tadi kamu berangkat?” Tanya Tiar. “Pagi-pagi sekali tadi, sekitar jam 5 an. Aku bisa sampai 2 jam tadi kesana, lalu turun juga 2 jam” sambungnya dengan Bahasa gado-gado Inggris dan Indonesia. “Hebat kan saya” katanya memuji diri sendiri tersenyum seraya berlalu. Aku hanya bisa nyengir sambil meraih kertas itu dari tangan Tiar. Kertas itu berisikan map yang telah berkali-kali di fotokopi sehingga beberapa tulisan terlihat memudar tetapi peta gunungnya masih jelas. Untuk sesaat aku berfikir, jika pak tua setua laki-laki tadi bisa, masa aku tidak?. “Sepertinya memang bisa dijangkau ya Ti” kataku yang di iya kan oleh Tiar. Gampang kok kesana, apalagi kalau kamu mau, bisa charter angkutan atau ojek menuju kesana. 20 menit kamu sudah ada di bibir kawah” katanya. Untuk sesaat aku memegangi kertas itu seraya merenung apa yang bisa aku lakukan selama disini mengingat berkali kali mengasingkan diri ke Berastagi sepertinya tidak ada hal yang terlewatkan. Semua sudah pernah aku datangi. Naik ke Bukit Gundaling hingga berkali kali juga turun dan bermalam di desa Tongging jika di Berastagi sudah merasa bosan. Aku lantas tergoda. Jika pak tua tadi bisa, masa aku tidak. Lantas aku mengambil tas ransel kecilku lalu berjalan keluar cottages, membiarkan Tiar yang sedang sibuk melayani dan mengurusi keperluan tamu-tamunya. Masih jam 11 pagi pikirku.

SANYO DIGITAL CAMERA
3 bersaudara yang aku temui di kawah. Teman seperjalanan menuju Desa Semangat Gunung (Raja Berneh)

SANYO DIGITAL CAMERA

Mencegat angkutan umum untuk mengantar ke tempat pendaftaran gunung Sebayak. Setiba disana sebelum membayar biaya registrasi (saat itu masih Rp.2000 per orang), beberapa orang supir menawarkan jasa untuk mengantar hingga keatas (menuju kawah) dengan biaya Rp.40.000 saja. Sekilas aku tergoda, tetapi kemudian rasa tidak mau kalah dengan pak tua tadi aku memutuskan untuk jalan kaki saja.

Jalanan itu sepi. Selama perjalanan yang lumayan datar itu (aku berjalan 1,5 jam) sebelum akhirnya jalan beraspal itu menanjak hanya ada satu-atau dua sepeda motor yang melintas. Sepeda motor para petani yang akan turun atau kembali dari ladang. Setelah itu satu mobil minibus L300 yang membawa turis melintas dari arah gunung menuju Berastagi. Sekilas aku dapat melihat mereka tersenyum sambil melambai. Aku membalas melambai. Pada jalan yang menanjak itu kakiku sudah sangat terasa sakit. Aku memutuskan untuk beristirahat. Aku memperhatikan sepanjang jalan itu. Sepi, tidak ada orang, gumamku. Sekitar 10 menit kemudian aku melanjutkan perjalanan. Saat aku tiba di punggungan gunung dimana mobil dan sepeda motor dapat diparkirkan, sejumlah anak anak sekolah satu persatu muncul dari arah kawah menuju motor masing-masing hendak pulang. Aku terus melangkah menuju jalan setapak yang dipagari tanaman hutan yang aku sendiri tak tau namanya. Lalu satu mobil L 300 berisi dua orang turis, turun lalu menyusul langkahku dari belakang. Sesaat aku menoleh dan tersenyum. Untunglah, paling tidak ada teman selama digunung ini. Tidak benar-benar sendirian, ucapku dalam hati bersyukur. “Hi, how are you” sapaku memulai pembicaraan yang juga dibalas dengan ramah. Ternyata turis dari Belanda. Sesampai di kawah hujan rintik-rintik mulai turun dan kabut menutupi daerah itu. Asap belerang sangat tajam menyengat. Aku melirik jam tangan. “Mmhh 2 jam persis, aku tiba disini, aku belum kalah sama pak tua” pikirku tersenyum geli. Bagaimana tidak, sejujurnya aku sudah kalah karena aku masih jauh lebih muda dari pak tua itu tetapi kecepatannya masih sama. Seharusnya aku bisa lebih cepat. “Ah, sudahlah.. seharusnya hentikan saja persaingan ini, toh aku sudah dikawah, menikamati cantiknya goresan alam ini” aku menengahi pikiran ku sendiri. Sesekali angin kencang menyapu dan membawa kabut tebal itu pergi membuat aku dapat melihat ada orang lain di kawah itu. Sepertinya mereka sudah tiba terlebih dulu disana. Aku mendekati mereka seraya menegur apa kabar. Ternyata mereka adalah 3 orang bersaudara. 2 perempuan kakak beradik dan 1 orang laki-laki sepupu mereka. Mengetahui bahwa mereka tidak pulang lewat jalan yang sama tetapi lewat jalur lain menuju desa Semangat Gunung, aku segera senang. Apalagi ketika aku diizinkan untuk ikut turun bersama mereka lewat jalur itu. Kata sepupu mereka yang laki-laki bahwa ia pernah ke gunung ini dan pulangnya lewat jalur desa Semangat Gunung, lantas ingin memandu kedua sepupunya melalui jalur itu. Pasangan turis asal Belanda tadi sudah pulang begitu hujan semakin membesar.

SANYO DIGITAL CAMERA

Ternyata jalur itu terjal. Berbatu-batu kerikil dan sangat curam. Menurut peta yang aku dapat dari pak tua itu, jalan setapak menuju Semangat Gunung sangat jelas. Tetapi tidak lagi saat ini. Mungkin karena jarang digunakan atau letusan kecil gunung Sebayak yang terjadi tahun 2008 dan 2009 membuat orang takut melewati jalur ini sehingga secara alami tertutup juga secara alami oleh alam. Kakiku gemetar dan lutut ditekuk saat memijak batu batu kerikil kecil yang sesekali ikut tergelincir ketika memijaknya. Untung tangan sigap meraih batu-batuan yg lebih kokoh atau akan-akar yang mencuat di jalan itu tidak membuat kita terperosok hingga hilang dibawah. Kali ini aku menyesali keputusan yang aku buat. Ingin kembali keatas lalu kekawah dan kembali lewat jalur yang sama dari mana aku datang. Namun ketika aku mendongak ke atas, membuatku juga putus asa. Aku sudah terlalu jauh dibawah. Kaki dan badanku sudah sangat sakit. Aku pun akhirnya menuruni jalan curam itu dengan posisi terbalik. Posisi seakan memanjat tapi sebaliknya kaki melangkah turun. Akhirnya daerah curam berpasir itu pun dilalui dengan baik. Hujan dan kabut membuat kami harus extra hati-hati. Perjalanan sedikit lebih mudah saat kami memasuki vegetasi rerumputan namun ketika memasuki kawasan hutan, langkah kami sama berat dan mungkin lebih susah daripada bebatuan tadi. Tanah licin karena hujan sering membuat kami terpeleset dan terhenyak ke tanah. Tangan harus extra sigap untuk menangkap apapun agar tubuh tidak ikut terperosok. Terkadang tangan yang tidak tertutup sarung tangan itu meremas ranting  berduri dan membuatnya berdarah. Lalu kayu kayu yang sangat besar tumbang dan sangat sulit dilalui. Kami berusaha mengeruk tanah agar kami dapat merangkak dari bawah pohon, tetapi itupun tidak cukup. Kami tidak berhasil karena tanah itu penuh akan-akar yang besar. Kami pun lalu menjalin akar-akar pohon untuk dijadikan tangga sementara agar dapat melalui pohon itu. Ketika akar2 itu terputus, maka pilihan terakhir adalah naik ke pundak lantas badan diangkat agar dapat meraih pohon itu lalu melompatinya. Memundak orang yang beratnya hampir 50 Kg membuatmu terkencing dicelana. Akhirnya kami berhasil melalui rintangan tersebut. Sekitar satu jam dari pepohonan tumbang itu, desa dibawahnya sudah semakin dekat. Dengan kaki terseok-seok kami terus menyusuri pebukitan itu. Butuh 4 jam dari kawah agar tiba di desa Semangat Gunung. Sebenarnya ada air hangat disana, tetapi karena tidak membawa baju ganti niat itu di urungkan. Kami berempat pun singgah diwarung kopi dan memesan the manis panas dan indomie kuah mengganti rasa lapar dan lelah, setelah itu dengan menucapkan terimakasih, aku berpisah dengan ke 3 teman baru ku itu. Aku kembali menuju Berastagi sementara mereka kembali sore itu juga ke Tanjung Morawa, sekitar 3 jam dari Berastagi dengan bus umum.

Gunung yang pertama yang aku tanjak membuat kakiku serasa patah, badan pegal semua. Apalagi pulangnya lewat jalur yang lebih sulit. Seharusnya aku kembali lewat jalur sama ketika aku datang, yaitu jalur Berastagi. Yah, harusnya lewat jalur itu saya pulang. Butuh waktu 2 minggu untuk memulihkan rasa sakit itu. Tetapi ketika rasa sakit itu hilang dan aku melihat foto-foto yang berhasil aku jebret membuat aku ketagihan. Memacu keinginan untuk menyambangi gunung-gunung lain yang keindahannya juga tak kalah dari gunung Sebayak. Sejujurnya, aku harus mengucapkan terimakasih kepada pak tua yang namanya tidak pernah aku ketahui. Gara-gara senyum dan pujian untuk dirinya sendiri memacu aku untuk ikut bersaing menyaksikan keindahan alam ini.

SANYO DIGITAL CAMERA
Desa Semangat Gunung (Raja Berneh) dikejauhan hampir tertutup kabut. Perjalanan masih jauh ke bawah dan harus melewati daerah berhutan.
SANYO DIGITAL CAMERA
Saat berada di vegetasi rerumputan pegunungan. Jalur dan kontur tanah yang lebih aman membuat aku sempat memotret ke arah bebatuan dan puncak yang sudah tertutup kabut.

At Mount Sumbing – Where My Sunrise Gone

It was 8.30PM when we started our journey towards Mount Sumbing. Head lamp in our head and rucksack hooked in our back full of our stuffs required to climb mount Sumbing. Like previously Sindoro, we also plan to climb mount Sumbing in one day. No camping. It will lightened the weight of the goods that we will carry to the mountain. Whole body and feet felt very sore, aching here and there. We only rested a few hours after getting off from Sindoro. Heavy rain falls while we were at the mountain towards the peak and still pour heavily when we get down to the village soaked my socks and my shoes. The rain coat I used is not enough to cover everything from the rain and I also forgot my gaiter. I’m not prepared for raining at dry season. Again unfortunately my shoe doesn’t make from waterproof material. I must wash and dry it before using again to climb mount Sumbing. Luckily the sun shining along the day from morning till afternoon makes my shoes and socks dry very quickly and it gave me comfort when using it again that evening. It was midnight when we descended down from the top of Sondoro mountain and arrived at village and make me didn’t recognized the village very well, as we were also arrived at midnight from Wonosobo when we will climb that mountain a night before. But as the village which opposite from Sumbing – it’s only 300m away – doesn’t give any contrast differences. The two neighborhoods villages located on 1100m above sea level makes this region is always cool tend to be cold and most people lived as a farmer. I actually wanted to rest a little bit longer but according to my previous experienced took 4 to 5 days to recovered the pain and stiffness back to normal, and I didn’t have much time left especially considering depleted financial. I had to do this tonight and arranged everything with my guide named Taufik and Ahmad so that when watching or witness the golden sunrise, we’ve been on top of mount Sumbing. Ahmad is Taufik’s friend and Ahmad is invited by him to help with the route and according to Taufik, Ahmad knows mount Sindoro and mount Sumbing very well more than himself. We prepared a few bottle of water, cookies, bread with chocolate cream. Those snacks will be enough as our meal to replace burned calories of the day. Besides, we don’t want to throw any feces in the mountain.

It was around 01.00 o’clock when hard wind stormed and slowed our way. We need to avoid it somehow. Then we decided to get rest while storm still blows hardly. We took a safe place between the mountain basins. We lit bonfire after collecting twigs and the grass to ward off the cold. Me, my guide Taufik and his friend Ahmad and other 2 mountaineer the we met along the way to the mountain from the village surroundings who were planning to climb mount Sumbing as well, sitting in the round shape surrounds bonfire. Thick jacket and bonfire surrounds us is still not enough to courage the heat. The hard wind blows slapped your skin and cracked your bones. Thick Jacket and bonfire still not enough to dispel freezing cold weather. The weary feelings on body and legs make me want to sleep next to bonfire, but we all must stay awake. They journey must continued and we brought nothing to camp here as we agreed. Actually by 2AM the storm weakened, and the journey should begin but it was until 3 AM and nobody initiated to move, neither Taufik nor Ahmad who knows the mountain better as it said – Ahmad lived not far from the village – . I suddenly realize that the mountain with 3336 m above sea level will not be able to reach the top in 3.5 hours for the sunrise. We were on half way of the mountain means we need at least 4.5 hours to go. And it means I will miss my sunrise. In hopeful feelings, I initiate to starts the journey and soon others followed. The other 2 mountaineer led the way as they’ve been there not so long ago and they had also appointment to meet their mate on top of the mountain. I left Taufik and Ahmad behind took care of the bonfire put it off and buried it with the soil while me and the other 2 mountaineer hurried our step and firmly on the ground. We retraced in speed pace as they know my intended for sunrise. It is 5.30 PM I could see the golden color a little bit lined the sky but the other side of the mountain block my sight to all view. I hurried my step so I could see it in a better view but nahh.. In fact I end up frustrate by facing a big rock. I must climb by plugging all my fingers into any crack of the rock so I could pass it. I feel relieved but yet another 2 or 3 big obstacle rock or jumble of stones to pass. It is 6.30AM at the time and my hope for sunrise is like a distance dream. I suddenly felt so upset about the day. Upset and disappointed towards my guides as I told them what was my intend. I knew they know the mountain as I had been informed by Taufik and I am new to the area and the mountain and that’s why I hired them to lead me to go up. I still have to climb another 1.5 hours to go up and get to the peak. The other 2 mountaineer decides to break at the last jumble stone and wait their friends who were sleeps still on the tent. I there traced alone after the obstacle rock. I walked up on the hilly path with the small white rock gravel stone. I mumbled, gloomy face and demoralized. I want my sunrise. If I can get it just by open my window, I will not go this far torture myself with all hurt, weary, tired not sleep for days, I still mumbled while I keep up my feet on the uphill ground.

DSC_0791
Foggy night when we start the trek. Almost couldn’t see anything but flash light.

DSC_0835

I only stand 5 to 7 minutes on the top and cried there next to the flag when I saw the sun is far above the line. It was eventually 7AM when I reached the top. It is very bright day and I missed my sunrise. I just can’t believe as I am very sure that we prepared for this. I descended down when I saw Taufik arise from the bottom ground following me to the top. I say no words. I feel so sad and upset. I kept my step down the steep ground and ignore the rest. I just keep walk down and passed Ahmad who I found slept in a flat ground next to a huge stones. I kept walking down and took a few pictures. I don’t even feel exciting anymore to my own adventure as I used to be.  Without realize it’s already noon, and I have only 1 small bottle of water and I just drink the last drip. No cookies and no bread I took with me. It’s all moved to my guide’s backpack when we were rest for 3 hours in the valley to avoid storm. I don’t feel hungry anyway. I met 2 boys seems just woke up late and prepared to summit attack. I asked if they have water left for me to drink a bit. They handed me the water and ask if I want to go up to the top as well. I shook my head and said I’ve done the summit. After returned the bottle and say thanks I continued my path. I descended down along the steep trail just by myself. Hear nothing just to my disappointment. I could feel all my body aching and my legs cramps almost numb but I keep walk anyway. Reaching the village by 1.30PM talked to the villager shortly and nodded as they asked if I had reached the top. My face still gloomy and sad.

It’s only when arrived at Sumbing register pos I started worried about Taufik and Ahmad. “Oh dear, what have I done”? Suddenly my heart was pounding. “What if.. Oh my God, I hope they are alright. I hope they noticed that I left the mountain and need nothing else as I missed the sunrise. Oh, Mel, what have you done? It just sunrise for God sake”, I blamed myself. “What if they got injured or accident along the mountain because they tried to keep up with you so you don’t lost your way?.. what if.. what if”.. Oh no.. Yes, I make huge mistake. Mistake that no one could ever tolerate. You should never leave your friends, buddy, guide or anyone relate to you without notice in the mountain, unless you have their permission and you recognized for sure the trace as ascended the mountain at night time you will see limited sign as trace guidance. I had been waiting for 3 hours for their presence. None. Zero. I could see the sky full of dark clouds. Will be raining again soon, I thought and yep, the heavy rain start at the same time I think about that. My guide hasn’t showed up. God I wish I have the same energy when I get down a few hours back, I will go back to the mountain and search for them. “Oh, silly woman”, I said. “You can enjoy your rest well when you arrived safe at the pos but now, you can’t even breathed and restless”. The rain becomes heavier and they still didn’t show up. “Oh Mel, their well being is your responsibility. It’s not just them responsible to your well being but you to them as well. Because you hired them to go up, so now it is you in charge if something happened to them”, I keep blaming myself. I could not share my worries with other people in the register pos as I am the only person arrived and other still left behind as many climbers camps the night before and ascended when I almost reached the village. At 5.30PM I saw 2 people in the distance walked in the rain. Other person helped someone’s walk. I couldn’t see clear as the thick haze and the rain covers the village. It’s only 2 meter away from the door where I safely shelter from the rain I could see very clear it is the 2 of my guides. Taufik helped Ahmad to walk as he fell and sliding down, exactly in the same spot where I fell down in the sandy soil and tiny gravel after the rocky pastures closed to woodland, but I was alright and nothing happened while Ahmad, his ankle sprained. Actually the sliding way makes me faster arrived at the village while Ahmad become slower especially after sprained. I felt so bad and relieved at the same time. I gave them time to clean up and change. At the end both part talked say sorry to each other. Me being a jerk, and they sorry for not responsive to what I asked for. Three of us feel so relieved, hand in hand as the sign we were all good and no offended or displeasure. I promised myself will never treat anyone like that ever again in any circumstances or condition. It’s just sunrise after all and Ahmad still need a masseur to fix his ankle.DSC_0819.

DSC_0811 DSC_0802A brief description about mount Sumbing and comparison to his neighbor mount Sindoro

  1. Posko Sumbing well managed by person in charge. Nothing fancy here but the way they keep huge empty floor for climbers is a lot better than posko Sindoro. Posko Sumbing keep the floor clean so the climber can use it to sleep with their mat, provide room for change, put a lot plug to charge your batteries, hand phone, head lamp with little money, simple toilet but clean etc, while Sindoro none, zero. The floor itself is full of rubbish and never being clean. The toilet, oh my gosh, I couldn’t explain about this as I want to thrown up.
  2. People of Sumbing also took care of the mountain very well. One or two times a month, they will go up to the mountain to clean the trash left behind or dropped out from the trash bag of the climbers. Mount Sindoro simply like doing nothing. So many rubbish we found a long the way up.
  3. People of Sumbing flatten the hilly ground that can be used to set up camp. They used this camp site as a sign to pos 1, 2, 3 or 4. It also done to prevent other people carelessly damaging the mountain, while Sindoro, they do it so so.

Mount Sindoro – Ndoro geulis of Central Java

Mount Sindoro with its altitude 3150m above sea level, the peak can be climb 7 to 8 hours from the village of Kledung Wonosobo Central Java. It’s also an active volcano with the crater named Kembang. Kembang means flower, or other meaning is growing. I fell in love at the first sight when I saw it from the top of Mount Prau. Mount Sindoro and mount Sumbing blocking my sight and those mountains is most prominent among other mountain that laying in the row in the distance. I was instantly attracted to visit their peak as well. After 5 days visiting Dieng Plateau and felt enough to see around, me and my guide decided to leave Dieng Plateau towards Wonosobo at 5PM. From there we will continue by changing bus to Kledung. But I was nearly ‘dead’ on the bus from Dieng to Wonosobo because 2 of the passengers with no innocent smoking inside the bus. Hurriedly they stubbed out their cigarette when I warned them “please stop smoking and put the cigarette off” but the dizziness is not disappeared from my head and it was going to explode. We have no other choice as this was the last bus of the day from Dieng towards Wonosobo. Consequently, the journey which only takes 30 minutes away feels like disaster. Arriving in Wonosobo at 5.30PM, I vomited, vomited and vomited emptied my whole stomach. The world fells like upside down.

sindoro 5
Mount Sindoro (front) and mount Sumbing (behind) viewed from mount Prau.

We eventually catches the bus from Wonosobo towards Kledung at 23.30. It took also only 30 to 35 minutes away from Wonosobo but waiting this bus kills the whole hours we have had. We wait 6 hours in total. My headache is not yet gone, even though we ate proper dinner while we waiting for the bus. I felt like a zombie walking here and there with no direction. My guide helped me by giving me a cup of coffee. But still not help. Arrived in Kledung at midnight we entered the pos to register. But somehow my headache really kills me. I said to my guide that I need to rest a little bit more. Then we used the back side of the pos to lie down and tried to sleep for an hour or two. All effort that I make is useless, I cannot sleep at all. It is a terrible headache. Finally at 02.30 we decided to start our step slowly towards the woodland. I dont want to miss the sunrise as I really love it. Hoping that we still have time for it and seems my headache will not dissapear so no point to wait a little bit longer. Miraculously all headache is gone after 15 or 20 minutes walks and sweating pour down my body. I feel so good and refresh. I don’t know why. We still have time to watch the sunrise between the tree trunks after pos 1 near pos 2. Actually we used our time to enjoy the trek and slowed down to reach the peak. I let my guide to take a nap for 2 hours in the shadow of the tree until heavy rain push us to hurried up. We had 21 hours in total ascent and descent instead of 16 hours, but that’s alright. We were all very tired from lack of sleep, leg aching, heavy rain and the hard trek along the mountain and luckily all of us returned to register pos safely.

sindoro 2
Beautiful sunrise arise in the distance next to mount Merbabu and Merapi and close to the foot of mount Sumbing. View from mount Sindoro

Tips:

This mountain category and signed up to 5 pos. If you want to camp here, please camp near the peak (pos 4 or 5) due to people surroundings used to go up and they will steal whatever they can find. If it’s happen that you must camp at pos 2 or 3, assign one of your friend to look after all your belongings while you are going to the peak. The thieves in this mountain makes you end up carry nothing back home.

sindoro 4
Mount Sindoro pictured from mount Sumbing.
sindoro 3
Hard trail to the peak.

Misty Gate of Mount Abang

Abang4
Lake and mount Batur viewed from mount Abang

Maybe mount Abang is not as famous as mount Batur but the scenery from here is no less beautiful than mount Batur. Well, the trail is not as easy as to go to mount Batur, but mount Abang also worth to try. It’s normally takes 4 hours to get to the top while Batur only 2 to 2.5 hours.

We were heading to Gianyar at 21.30 from Denpasar. We left early than should be – mount Abang is 60KM away Northeast from Denpasar – because all of us with total 5 people with 3 motorbikes and none of us had even been there before. We used Google Maps to guide our way also asked people along the way to make sure we were on the right track. After Baby Statue (Patung Bayi) in Gianyar we were heading to Tirta Mpul. From Tirta Mpul towards Kintamani. In Kintamani, right the opposite of Museum Geopark Batur there is a road to Panelokan. We took this road and end in front of Mungu Temple. We arrived at 23.45 and parked here and started to walk and follow the path way. There were many small intersection on those path way but the sign – well it’s a bit pity as they nailed it into the tree trunk – helped us on the right track.

Abang5
This little temple signed as Pos 1

After the sign “Welcome to Gunung Abang” – gunung means mount, we enter the forest with hilly trail and small gravel makes your step sometimes slippery. The path is quite clear and we just follow it. After 1.5 hours walked we arrive at pos 1. Pos 1 sign with tiny temple signed with 2 white umbrellas with offerings. Balinese often came to this mountain to pray. We could felt this spot with sacred atmosphere. It’s very dark as we turned off our head lamp. We smell the scent of flowers from dried flower of the offerings. We stopped here for awhile take a breath enjoy the windy night makes all the sweat gone fast. The wind also makes the clouds cover and clear the sky very fast. As the sky cleared, we could see the starts also the huge wall in front of us. For one minute we thought that was a shadow but it wasn’t. It is the steep slope of the top mountain.

DSC_3922
Pos 2. Flat area before the hard trail is good place to rest on the way up and down

We continued our trail after gaining our energy back, we started to climb. Every step became harder and harder as the climbed become higher and steep slope in the right and left hand . We grabbed the root of the tree or whatever we could grab to hold the body not to fell and rolled back. We fought enough in this track for 2 hours to reach pos 2 as we must carry our own tend and supplies. Somehow to reach pos 2 is not as easy as reached pos 1. We found also a small temple in these pos. After break about 10 minutes, we continued. We felt somehow sore legs but we still have to climb to reached the top. We eventually reached the peak of mount Abang at 5AM. It is longer the necessary. It because all my colleagues so very tired after work, and continued the journey without proper break. We stand our tent and rest for awhile to wait our beautiful sunrise to arise.

Abang8
Sunrise viewed from mount Abang
Abang7
Lake Batur viewed from Panelokan

Brief Info:

Actually this mount required a guide but as the office closed when we get there – this mountain runs and organized by local tourism – we just follow the trail. But in the end when we get down, the officer charge us for entrance fee only as we didn’t used any guidance provided by the local authority.

DSC_3864
Nap for awhile before sunrise
abang2
Descent down with sliding somehow even harder than the ascent. Grabbed anything not to fall down.

Story of Welirang; Life is so hard? Well, just be grateful

It was 6 AM when we were arrived at the top of this mountain (Welirang 3156m above sea level), and the beautiful views welcome us nicely. Outstanding color of the sunrise, the peak of Arjuno along the way up is so cleared and Semeru in the distance in blue color, the city of Batu and surroundings looks like a huge valley from the top. We descended down the mountain ridges filled with small gravel mountain’s rock towards the natural pipes of sulfur. From the distance we could hear the roar of the ‘natural kitchen’ that boiled those sulfur and ready to be picked.

DSC_0987When we were very closed to those source, we saw how a few miners, mine the sulfur manually, with bare hands. No special or adequate equipments used a long the process. There are only long boots – 1 or 2 miners even just wear slippers – thin knitting cloves and used plastic sacks to collect all those sulfur and carried it on their shoulder and walked on steep trail with no protection into a flat area 500m away from the source. One slip step, they will be gone. Dead literally. They will put all those sacks there until they collected up to 200 Kg. They will use manual pushcart down to pos 2 where it takes around 4 hours to go down, and where all those sulfur collected and picked up by hardtop jeep and gets their payments once a week. 3 or 4 miners can collect to 400Kg by 2 consecutive times up to the source and down to pos 2 in one day. There are about 20 men working in this fields but they will not working together at the same time due to unsafe fields.

I was so amazed by looking all those men working in these fields for years. Some of those even working and make money from it with their 3rd generation.

Tips;

  • If you have a chance to visit this place all you have to do is don’t come to close to the source, as the ground is so steep and the haze could give you a hard breath. Note: for those who have breathing problem, please be away from this spot.
  • Don’t talk too much with all those miner, because it can disrupts the rhythm of their work. Besides, they won’t like it either.
  • If you have things left like snacks, bottle of water, matches which you might not need them anymore, you can give or leave it for them. They will be so happy to received it. But please don’t give anything just like you want to reduce rubbish from your rucksack.
  • Please always bring your own waste or rubbish back and put it on trash bin.

DSC_0958Mount Welirang (3156m above sea level) – Welirang which means Sulfur in the Java language is located in East Java 76KM down South of Surabaya the Capital of East Java. This mountain is also one out of many other active volcanoes. Java island with total area 138.700 KM2 with total population 136,610,500 (based data population 2010) is a home for almost 50 mountains both active or non active volcanoes, and Welirang is the 7th tallest mountain in this island. Start from the West to the East of the island, the mountains with beautiful landscape along with mythology or legend that comes with it make it become very interesting. Like Mount Welirang, in the Java community ancient belief and written in the Ancient Book of Tantu Pagelaran, Welirang formed from the fragments debris of mount Sumeru when transfer it from West to the East Java. Mount Welirang at an altitude of 3156 meters above sea level can climb through Tretes. From Surabaya, stop at Pandaan, then from there to change transport towards Tretes.

DSC_0973

Welirang – Cerita dibalik keindahan yang mempesona (tamat)

Cerita sebelumnya…

Lalu suara guntur sekali lagi terdengar hanya kali ini lebih rendah dari sebelumnya dan suara lain itu juga terdengar sepersekian detik setelah suara guntur. Sepertinya suara orang berdehem pikirku. Sepertinya memang aku harus berbalik badan. Aku benar-benar tidak bisa melihat apa-apa lagi dan bulu kuduk mulai merinding. Saat aku memutar badan, seekor burung melintas didepanku sambil bercicit. Pada saat yang sama aku juga mendengar bunyi cicit tapi ini jelas bukan suara burung. Telingaku masih bisa membedakan suara itu. Sepertinya itu bunyi siulan. Saat itu juga aku mengambil kesimpulan, jangan-jangan itu… jin yang mau menakut-nakuti aku. Lalu aku berusaha mengumpulkan fikiran positif. Aku berfikir, tidak ada jin seperti itu. Tapi bunyi siulan itu sangan jelas. Jangan- jangan itu maling yang sedang melarikan diri ke gunung.. Astaga, aku harus bagaimana? Ingin berlari tapi kakiku terasa sangat sakit dan kaku saat melangkah turun. Rasanya aku ingin terbang saja. Empat lima langkah kakiku tersaruk-saruk pelan. Air hujan yang membasahi baju, hingga kedalam sepatu membuatnya kaku. Untuk sesaat aku pasrah. Aku menunggu saja apa yang terjadi. Jika memang hidupku berakhir disini biarlah. Paling tidak aku sudah melakukan petualangan ini, pikirku. Aku memang perlu istirahat pikirku benar-benar pasrah. Setelah lima atau tujuh menit menunggu, aku melihat sesuatu bergerak-gerak di jalan yang menikung. Aku menajamkan mata dan sangat yakin sekali bahwa itu orang. Aku menahan nafas. “Oh Tuhan” gumamku. Hanya dalam jarak satu meter di depanku aku dapat melihatnya jelas. Seorang laki-laki dengan tas ransel 50L dipunggungnya. Ah.. aku menarik nafas lega. Ternyata seorang pendaki juga, pikirku. “Halo mba, kok sendirian?” sapanya dengan nada tak bersalah karena dia sudah membuat aku benar-benar sport jantung selama hampir 10 menit. “Iya nih mas” ga ada lagi jawaban yang bisa aku beri selain itu. Rasanya lega mengetahui bahwa dia bukan maling yang bersembunyi dihutan. “Tadi aku dengar suara tapi ga bisa lihat wujudnya. Kabutnya tebal sekali dan tadi sesaat aku pikir ada perampok yang sedang bersembunyi di hutan” akhirnya aku jujur atas perasaan galau. “Hahaha” dia tertawa. “Hayo, makanya jangan naik gunung sendirian” ledeknya. “Memang di puncak sudah tidak ada pendaki lagi. Para penambang belerangpun hanya ada beberapa orang lagi diatas. Besok pagi mereka turun semua. Besok kan Jumat, para penambang libur. Trus Sabtu biasanya ramai karena penambang kembali ke gunung dan pendaki juga biasanya muncak. Kecuali hari libur sih, biasanya ada saja pendaki naik turun tiap hari.” jelasnya panjang lebar. “Oh begitu” sahutku. “Mas nya mendaki sendirian?” tanyaku lagi. “ Ndak, kita ada 8 orang. Kita naik dari Cangar menuju Arjuno lalu turun lewat Welirang. Teman-teman ku masih banyak tertinggal dibelakang” jawabnya. Lalu kami sepakat menunggu mereka semua hingga ke 8 orang berkumpul sambil bercerita ngarol ngidul. Bercerita tentang asalku dari Sumatera senang bertualang dan memulai perjalanan ini dari Bali sejak aku bekerja dan akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan swasta di Bali. Lalu dia bercerita tentang kegiatan anak kampus dan menjadi anggota MAPALA di kampusnya. Setelah ke 8 orang berkumpul, perlahan-lahan kami turun sambil tidak lupa berkali-kali istirahat. Sesekali mereka menawarkan air minum padaku lalu aku menawarkan roti coklat yang sedari tadi pagi aku belum sentuh.

Kami tiba dipos registrasi pukul 8 malam. Bapak petugas yang memberiku izin mengurut dada sekaligus senang mengetahui bahwa aku pulang dengan selamat. “Aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa kalau kamu tidak sampai pulang. Aku merasa berdosa membermu izin. Aku tau kamu sendirian dan entah kenapa aku malah mengizinkanmu” katanya. “Hari ini aku tidak sampai di pos 2 pak, jadi besok aku akan nanjak lagi” kataku. Dia memandangku sejenak dengan tatapan heran lalu berkata “Oke, besok ada angkutan untuk mengangkat belerang dan saat itu juga semua penambang turun. Kamu bisa berangkat bersama pengangkut belerang dan harus pulang bersama-sama dengan mereka juga. Tolong jangan muncak sendirian. Kamu boleh muncak jika ada pendaki lain yang mau muncak”. Aku mengiyakan dan kembali kepenginapan setelah mengambil kembali KTP yang ditinggal di pos registrasi.

Keesokan harinya, aku bangun lebih awal, jam 6 pagi. Aku melihat semburat merah di langit membuat aku yakin bahwa hari ini tidak akan hujan. Lalu memindahkan pakaian yang basah yang aku jemur dalam kamar selamaman keluar kamar agar lebih cepat kering. Jaket merah sudah kering, ternyata dia bukan berbahan tahan air (waterproof) tapi hanya cepat kering (quick dry). Jam 9 pagi aku mengemas baju ganti yang sudah kering itu ke dalam tas lalu membeli satu botol aqua sedang dan roti bantal ber krim cokelat. Aku mengikuti saran bapak petugas kehutanan yang menjaga di pos registrasi semalam dan berangkat bersama pengangkut belerang. Bapak-bapak itu juga sangat ramah. Kami makan siang bersama, dimana bapak itu juga membagi makanannya denganku yang semula selalu aku tolak karena takut mengurangi jatah. Mereka bercerita banyak tentang pekerjaan mereka. Keahlian mereka mengganti kopling dari jeep usang dengan cepat dengan situasi jalan yang berbahaya. Tetapi lucunya hanya jeep tua itu yang sanggup mengarungi jalanan yang sangat rusak dan menanjak. Salah tekan kopling, atau rem, jurang di kiri kanan jalan itu menganga.

DSC_0655
Pengangkut belerang memuat hasil di pos 2. Kabut sudah mulai turun.

Kami akhirnya tiba di pos 2 sekitar jam 3 sore. Aku melihat 2 orang yang sepertinya hendak ke puncak juga. Aku merasa girang melihat mereka di pos 2. “Akhirnya, aku tidak mesti pulang dari pos 2” pikirku. “Mau muncak juga?” tanyaku memulai memulai percakapan. “Yup besok pagi” jawab salah seorang. “Boleh saya ikut dengan kalian?” tanyaku yang lalu diiyakan olehnya. Aku girang sekali. Lalu aku mengeluarkan tas ransel kecilku dari jeep itu sementara para pengangkut belerang mulai mengisi karung-karung belerang kedalamnya. Lalu aku mengucapkan terimakasih kepada mereka seraya berpesan agar disamapaikan kepada petugas bahwa aku punya teman untuk muncak esok pagi, jadi tidak perlu cemas. Lalu kami lanjutkan pembicaraan. Ternyata orang yang berbicara denganku tadi seorang warga Negara Singapura dengan seorang lagi pemandunya. Sebenarnya kedua orang tuanya berasal dari Indonesia, tepatnya pulau Jawa dan dia ingin mengenal lebih baik lagi tanah kelahiran orang tuanya. Namanya Fareez. Jam 4.30 sore saat akhirnya kabut turun. Rasa dingin mulai menyeruak. Bapak pemandu yang bernama pak Irfan mempersilahkan kami memasuki salah satu gubuk penambang. “Apa bisa masuk begitu saja mas?” tanyaku. “Tentu saja tidak. Aku sudah dapat izin dari pemilik gubuk yang kebetulan masih sanak saudara. Ini kuncinya. Tanpa ini kita tidak bisa masuk” katanya seraya menujuk kunci. Lalu ia mulai menyalakan perapian. Karena rasa dingin semakin menyayat tulang, aku mengeluarkan jaket merah. Tapi rasa dingin masih saja disana, tak mau pergi. Lalu mas Irfan membuatkan kopi dan teh dan dia membaginya juga ke aku. Rasa lapar pun mulai menyergap. Fareez dan mas Irfan mengeluarkan perbendaharaan suply mereka. Ada banyak makanan, sementara aku hanya ada satu botol aqua sedang dan satu roti bantal berisi krim cokelat. Mereka membagi makanan juga denganku dan aku ambil sekenanya saja, karena aku takut akan membuang kotoran di gunung. Semaksimal mungkin, aku akan makan sedikit agar tidak melakukan pencemaran digunung manapun aku berada. Jam 6 sore, rasa dingin semakin tidak tertahankan. Gelap pun sudah datang menghampiri kami. Kami memutuskan untuk beristirahat karena besok perjalanan kepuncak dimulai jam 2 pagi. Aku baru tersadar bahwa aku sebenarnya tidak membawa apa-apa. Tidak ada sleeping bag, mantel hujan, lampu senter atau perlengkapan memadai untuk camping. Ya Tuhan, apa yang sedang aku lakukan, pikirku. Melihatku bengong, mas Irfan bertanya “ kenapa?, tidak bawa sleeping bag ya?”. Aku hanya menggeleng kepala menyadari ketololanku. Dia lalu menyerahkan satu sleeping untukku. Aku menatapnya heran, “mas irfan pake apa kalau begitu?” tanyaku tidak enak hati. “Jangan kwatir, aku bawa tiga sleeping bag”. Katanya. “Aku kembali bertanya “Tiga?. Kalian kan Cuma 2 orang? Kenapa bawa 3? Apa ga berat jadinya?” tanyaku keheranan. “Ntah, aku juga ga tau kenapa bawa 3 sleeping bag” Jawabnya. “Biasanya aku cuma bawa secukupnya saja untukku dan tamuku”. Sambungnya lagi. Tinggal aku yang heran bercampur rasa bodoh, tolol atas apa yang sedang terjadi dan apa yang aku lakukan, mengingat Welirang bukan gunung yang pertama yang pernah aku jalani. Sepanjang malam itu aku tidak dapat memejamkan mata mengingat apa yang akan terjadi, jika kedua orang ini tidak membawa perlengkapan yang cukup. Mungkin aku bisa mati kedinginan atau paling tidak akan terserang hypothermia, dan, dan.. ah, aku tidak sungguh tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa mengucap syukur dan syukur kepada Yang Kuasa yang tanpa aku sadari Dia malah mempersiapkansegala sesuatu lewat orang lain. Coba jika kemarin sore aku bisa sampai di pos 2, lalu aku akan bermalam dimana?. Mau pulang juga tidak bawa head lamp? Jika harus bermalam, aku juga tidak bawa makanan cukup, sleeping bag, jaket tebal yang memadai. Oh.., ini juga jadi semacam tamparan keras agar lain kali aku bisa lebih cermat dan teliti. Aku tidak henti-hentinya bersyukur. Tepat jam 2 pagi kami berkemas menuju puncak Welirang. Jalanan yang gelap dibantu dengan penerangan dari head lamp mas Irfan dan Fareez. Akhirnya kami tiba juga dengan tepat waktu saat matahari terbit sedang beranjak keluar dan segala keindahan matahari terbit disuguhkan kehadapan kami. Mas Irfan pun mengiyakan saat aku mengajaknya untuk menunjukkan tempat para penambang mengambil belerang. Sungguh, bagiku luar biasa sekali perjalananku ke Welirang. Aku tidak akan pernah lupa akan hal ini.

DSC_0668
Menyempatkan diri berfoto ria sebelum akhirnya kabut mengerubungi kami di pos 2. Kami bertiga sepakat bahwa menumpang di gubuk penambang adalah hal termewah di malam itu.
DSC_0653
Dua dari 8 orang teman yang saya temui di hari pertama saat turun dari Welirang. Hujan yang mengguyur seharian membuat semuanya basah kuyup.
DSC_0687
Mas Irfan dan Fareez..

Welirang – Cerita dibalik keindahan yang mempesona (bag 1)

Gunung Welirang – Welirang yang berarti Belerang dalam bahasa Jawa ini berlokasi di Jawa Timur. Gunung ini juga merupakan gunung vulkanis aktif. Pulau Jawa memang terkenal dengan gudangnya gunung-gunung baik berapi maupun tidak. Dari Barat hingga Timur pulau ini, gunung – gunung dengan landscape indah disertai dengan mitologi atau legenda yang sangat menarik. Gunung Welirang juga dalam kepercayaan masyarakat Jawa dalam Kitab Kuno Tantu Pagelaran terbentuk dari serpihan gunung Semeru yang tercecer saat pemindahan gunung Semeru ke arah Timur Pulau Jawa. Gunung welirang berada di ketinggian 3156 mdpl dapat didaki lewat Tretes. Dari Surabaya, berhenti di Pandaan, lalu dari sana berganti angkutan menuju Tretes.

Mendaki gunung Welirang adalah kejadian yang tidak mungkin saya lupakan. Selain karena apa yang disuguhkan alam kepada saya sungguh begitu indah, juga ada cerita yang sedikit membuat saya menjadi lebih teliti saat saya ingin mendaki satu gunung.

DSC_0758
Matahari terbit di puncak Welirang

Sore itu aku tiba di Tretes dan hujan turun lumayan lebat. Hujan sudah turun saat aku dan teman seperjalanan ku meninggalkan Bromo lewat Probolinggo tetapi teman itu melanjutkan perjalanan ke Surabaya sementara aku turun di kota Pandaan lalu melanjutkan perjalanan ke Tretes. Setelah bus yang aku tumpangi dari Pandaan berbaik hati untuk mencarikan penginapan – beruntung, aku satu-satunya penumpang yang tersisa dan hujan lebat membuat supir itu rela membantuku – aku turun dan menggotong tas ransel menuju kamar kecil. Beruntung juga kamar kecil ini di fasilitasi air panas, sehingga saat badan basah kuyup dan udara dingin aku bisa membersihkan badan dari air hujan. Hujan masih turun namun tidak sederas saat aku tiba. Saat itu hanya rintik-rintik. Aku gunakan untuk melihat daerah sekitar. Kecantikan Tretes mengintip di sela-sela awan dan kabut yang menutupinya. Terlihat sekilas rumah-rumah yang sepertinya berdiri ditepi-tepi jurang, dan bagiku itu sebuah keindahan. Malam cepat menutupi daerah ini dan hujan berhenti. Lampu-lampu jalan berganti menerangi kegelapan itu. Sekilas aku mencari informasi tentang gunung itu tetapi karena sudah malam aku hanya mendapat sedikit informasi saja dari ibu-ibu pedangan. “Ngapain ke gunung sendirian dek?” Tanya ibu itu. “Tidak takut? Hati-hati lho, diatas itu banyak orang tersesat, bahkan ada yang hilang belum ketemu. Ada yang meninggal juga” sambung nya. “Nggak apa-apa bu, saya hanya senang saja kegunung” kataku sambil tersenyum. Lalu aku bertanya kepada ibu itu “ Kenapa mereka bisa tersesat bu? Bahkan ada yang meninggal?”. Lalu ibu menjawab “ Ya gimana ya dek, gunung ini ada penghuninya. Dia bisa bikin orang tersesat. Apalagi kalau pendaki itu tidak sopan”. Aku segera mengerti pesan yang ingin disampaikan ibu tersebut. SOPAN. Itu yang saya tangkap. Aku yakin ibu itu tidak sedang menakut-nakuti tetapi memang sepantasnya kita sopan berbuat, bersikap dimanapun berada. Setelah perut terisi, aku kembali ke kamar untuk beristirahat.

DSC_0875
Salah satu kawah di puncak gunung Welirang

Jam 7 pagi saya saya terbangun. Untuk sesaat aku keluar kamar dan ingin sekali lagi melihat sekitar sebelum aku nanjak. Aku berjalan menyusuri jalan-jalan menurun beraspal dan mengitari sejauh yang aku bisa. Pagi yang cerah itu membiarkan aku menikmati indahnya Tretes. Jam 8 pagi, aku lalu mengemas barangku, check out, lalu mencari pos regitrasi. Disana aku bertemu petugas. Kita berbincang-bincang sebentar tentang dari mana asalku dan darimana aku memulai perjalanan. Lalu dia menawarkan tempat penginapan yang lebih murah untuk ditempati sendiri. Aku menyetujui setelah melihat kamar itu jauh lebih bagus tapi tanpa air panas. Lalu aku memindahkan barang bawaanku ke kamar baru tersebut. Aku membawa ransel kecil lalu kembali ke pos registrasi. Entah kenapa bapak itu mulai sadar kalau aku benar-benar seorang diri lalu dia merasa kwatir untuk memberiku izin. “Kamu pergi seorang diri, sebaiknya jangan” katanya. Aku jadi sedikit kecawa apalagi setelah aku pindah ke penginapan baru miliknya. Lalu aku meyakinkannya. “Menurut info, jalurnya jelas pak. Jadi tidak akan ada masalah” kataku meyakinkan. “Mungkin sebaiknya tunggu sehari lagi, aku yakin besok masih ada pendaki yang mau naik” katanya bernegoisasi. “Aku ga yakin bakal bisa tinggal lama pak. Ga akan ada apa-apa pak. Percayalah. Ini bukan kali pertama saya jalan sendirian” aku meyakinkannya. Dengan tatapan mata yang berat dia memberiku izin. Tepat jam 9 pagi aku memulai perjalanan.

Perjalanan baru satu jam saat hujan deras turun. Pos 1 masih harus ditempuh 2 jam lagi. Aku berhenti untuk mengeluarkan jaket merah lalu melanjutkan perjalanan. Tiba di pos 1, aku berhenti sejenak memerika tas ransel bawaanku. Hujan masih turun. Lalu aku kaget mendapati bahwa barang bawaan seperti baju ganti basah, walaupun tidak sepenuhnya basah kuyup. Aku memeriksa jaket merah yang aku gunakan sebagai rain coat ternyata bukan water proof. Air merembes ke jaket, lalu jaket meneteskan air ke tas ransel dimana tas ransel juga tanpa rain cover. Entah apa yang aku pikirkan, aku tetap melanjutkan perjalanan walau hujan masih turun. Aku masih berjalan hingga 3 jam setelah pos 1 – kurang dari 2 jam lagi aku akan tiba di pos 2 -. Jalan itu sudah mulai tertutup kabut yang sangat tebal. Aku kesulitan untuk melihat jalan di depanku. Aku bahkan tidak dapat melihat batang pohon tumbang yang ranting besarnya menghalang di pinggir jalan hingga nyaris membentur kepalaku. Tapi aku masih tetap berjalan. Tapi lalu 10 menit kemudian, aku mulai ragu. Jalan yang aku lalui sama sekali tak dapat aku kenali lagi. Semuanya tertutup kabut tebal. Untuk sesaat aku terdiam, memikirkan apakah aku harus putar badan atau masih lanjut. Saat aku memutar badan menoleh kebelakang ke jalan yang sudah aku lalui yang juga sudah tertutup kabut dan melihat kedepan lagi, tiba-tiba aku dikagetkan dengan suara guntur yang sangat kuat. Rasanya persis diatas kepalaku. Dan pada saat yang sama aku mengenali suara lain selain bunyi guntur tadi. Tapi aku tidak tau itu apa. Keyakinanku untuk melangkah terus mulai meragu. Aku semakin menajamkan telinga untuk terus mendengar bunyi lain selain bunyi guntur. Tiba-tiba saja suara ibu pedagang makanan di Tretes kemarin malam terngiang di telingaku. Jangan-jangan..

Bersambung ke bag 2 (tamat).

DSC_0790
Puncak gunung Arjuno dan Gunung Semeru di kejauhan.